Senin, 20 Desember 2010

Daya Saing SDM Indonesia Naik di Posisi 44

Pemerataan pendidikan dasar di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat daya saing sumber daya manusia di Indonesia. Tingkat daya saing sumber daya manusia di Indonesia meningkat dari posisi 54 pada tahun 2009 menjadi 44 pada tahun 2010.

“Peningkatan ini diyakini disebabkan oleh antara lain membaiknya kondisi pendidikan dasar di Indonesia. Yang menjadi tantangan sekarang adalah bagaimana meratakan kesempatan pendidikan di Indonesia,” ungkap Prof. Dr. H. Muchlas Samani, M.Pd, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya dalam diskusi media bertajuk “Masa Depan Pendidikan Dasar di Indonesia belum lam ini.

Selain Prof. Dr. H. Muchlas Samani, M.Pd, juga hadir Sukemi, staf khusus Menteri Pendidikan Nasional serta Risang Rimbatmaja, Dosen matakuliah Metode Penelitian Komunikasi (MPK) di Program Paskasarjana Reguler Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Tantangan ini tidak hanya dibebankan ke pemerintah saja tetapi juga seluruh masyarakat. Jika tantangan ini bisa teratasi akan sangat mudah bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu bersaing di kancah international dalam era globalisasi ini.

“Untuk mencapai pemerataan pendidikan ini diperlukan dukungan seluruh elemen masyarakat Indonesia termasuk pemerintah, masyarakat dan pihak swasta dalam membantu anak-anak Indonesia untuk tetap bersekolah,” ungkapnya sebelum penyerahan Program Berbagi Untuk Maju oleh Frisian Flag dan Matahari Food Business tahap ke-4 ini.

Pemerataan pendidikan dasar ini juga menjadi target Millenium Development Goals (MDGs) nomor dua, dimana keberhasilan tersebut didasari oleh empat indikator yakni angka partisipasi sekolah (APS), angka melek huruf, rata-rata lama studi dan rasio murid laki-laki dan perempuan.

Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian independen yang dilakukan oleh Risang Rimbatmaja, Dosen matakuliah Metode Penelitian Komunikasi (MPK) di Program Pascasarjana Reguler Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Hasil penelitian yang dilakukannya sekitar 56 persen responden asal Jakarta, Bandung, Medan, Jogyakarta, dan Makasar menyatakan bahwa menyekolahkan anak adalah tanggung jawab orangtua atau keluarga. Sementara, 39 persen melihatnya sebagai tanggung jawab pemerintah.

Secara umum, isu sekolah merupakan perhatian kebanyakan responden di mana lebih dari 94 persen responden melaporkan pernah berpikir untuk membantu anak yang kesulitan sekolah untuk tetap sekolah. Lebih 94 persen responden pun menyatakan sangat setuju atau setuju bila uang pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk menunjang sekolah agar anak-anak yang tidak mampu dapat bersekolah.

Dalam kesempatan itu, Sukemi, staf khusus Menteri Pendidikan Nasional mengatakan bahwa untuk pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) dibutuhkan dukungan, partisipasi dan kerjasama strategis yang berkesinambungan antara pemerintah, masyarakat umum dan sektor swasta guna mencapai pemerataan pendidikan dasar di Indonesia.

“Walapun sudah ada dana BOS, banyak siswa SD & SMP di Indonesia tetap tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena tidak memiliki biaya untuk uang transport, keperluan penunjang operasional sekolah seperti sepatu, buku, alat tulis, seragam dan lain-lain. Kolaborasi masyakat dan pihak swasta berperan dalam memberikan bantuan guna membantu anak-anak Indonesia tetap bersekolah menyelesaikan program Wajib Belajar Sembilan Tahun,” katanya. (tribunnews.com/eko sutriyanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar